Di tengah krisis iklim global yang semakin mengkhawatirkan, Suku Kajang di Sulawesi Selatan menjadi contoh nyata keberhasilan pelestarian lingkungan.
The Washington Post bahkan menyebut mereka sebagai penjaga hutan terbaik dunia, berkat komitmen kuat dalam menjaga hutan primer mereka tetap utuh.
Ketahanan Hutan Kajang: Kearifan Lokal di Tengah Perubahan Iklim
Suku Kajang hidup selaras dengan alam, menghormati dan menjaga kelestarian hutan yang menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Filosofi hidup mereka, Kamase-Mase, mengajarkan kesederhanaan, keseimbangan, dan penghormatan mendalam terhadap alam.
Mereka bukan hanya tinggal di hutan, tetapi hidup bersama hutan, menjadikan kelestariannya sebagai prioritas utama.
Pasang Ri Kajang: Hukum Adat sebagai Benteng Perlindungan Hutan
Pasang Ri Kajang, hukum adat turun-temurun yang diwariskan secara lisan, menjadi pedoman hidup bagi Suku Kajang.
Hukum ini bukan sekadar aturan, melainkan panduan spiritual yang mengakar kuat dalam keyakinan mereka akan kesucian hutan.
Segala bentuk eksploitasi hutan dilarang keras, termasuk menebang pohon, berburu hewan, bahkan mencabut rumput sembarangan.
Pembagian wilayah menjadi lingkaran luar dan dalam, dengan empat desa bagian dalam yang dianggap paling sakral, menunjukkan keseriusan mereka dalam menjaga kelestarian hutan.
Di wilayah paling sakral, semua orang wajib berjalan tanpa alas kaki dan mengenakan pakaian berwarna hitam atau nila, simbol kerendahan hati dan kesetaraan.
Pengakuan Hutan Adat: Perjuangan Panjang Menuju Pelestarian Berkelanjutan
Setelah perjuangan panjang, Mahkamah Konstitusi pada 2013 memutuskan pengakuan hutan adat.
Putusan ini membuka jalan bagi pengakuan resmi wilayah adat Kajang seluas sekitar 3 kilometer persegi pada 2016.
Sejak itu, pengakuan hutan adat di Indonesia terus meningkat, namun masih jauh dari potensi total.
Meskipun demikian, pengakuan ini memberikan kekuatan hukum bagi Suku Kajang dalam melindungi hutan mereka.
Mereka kini memiliki posisi tawar lebih kuat untuk menolak atau menegosiasikan rencana pembangunan yang mengancam kelestarian hutan.
Hukum adat Kajang juga memberikan sanksi tegas bagi pelanggar, mulai dari denda hingga pengusiran.
Konflik dengan perusahaan perkebunan di masa lalu, misalnya dengan PT London Sumatra, menjadi pembelajaran berharga dalam memperjuangkan hak-hak mereka.
Peristiwa bentrokan berdarah pada 2003, menunjukkan betapa kuatnya tekad mereka dalam menjaga kelestarian hutan leluhur.
Generasi muda Kajang menghadapi tantangan adaptasi dengan modernitas. Paparan budaya luar dapat mengikis kearifan lokal, sehingga perlu upaya pelestarian budaya agar warisan leluhur tetap lestari.
Namun, keberhasilan Suku Kajang menjadi bukti nyata bahwa masyarakat adat memiliki peran penting dalam pelestarian lingkungan. Keberadaan mereka menjadi inspirasi dan pembelajaran berharga bagi dunia dalam menghadapi tantangan perubahan iklim.
Studi global menunjukkan lahan adat mengalami deforestasi jauh lebih rendah dibandingkan kawasan tak dilindungi. Hal ini menegaskan pentingnya peran masyarakat adat dalam upaya konservasi.