Pakar Hukum Pidana: Kasus Inkrah, Pasal Perintangan Tak Logis?

Pakar Hukum Pidana: Kasus Inkrah, Pasal Perintangan Tak Logis?
Sumber: Liputan6.com

Sidang kasus suap Harun Masiku dan perintangan penyidikan dengan terdakwa Hasto Kristiyanto menghadirkan polemik baru. Ahli Hukum Pidana Universitas Wahid Hasyim Semarang, Mahrus Ali, memberikan kesaksiannya terkait penggunaan Pasal 21 UU Tipikor dalam kasus ini. Ia mempertanyakan logika penggunaan pasal perintangan penyidikan ketika kasus pokoknya sudah berkekuatan hukum tetap (inkrah).

Pertanyaan tersebut muncul setelah kuasa hukum Hasto, Ronny Talapessy, menanyakan pendapat ahli mengenai penerapan pasal perintangan penyidikan. Ia mencontohkan kasus Frederich Yunadi dalam perkara Setya Novanto, dimana Yunadi terbukti menghalangi penyidikan meski kasusnya telah sampai ke tingkat putusan Mahkamah Agung.

Perintangan di Tingkat Penyidikan: Sebuah Pertanyaan Logika

Mahrus Ali menjelaskan bahwa Pasal 21 UU Tipikor secara spesifik mengatur perintangan pada tahap penyidikan. Penerapan pasal ini pada tahap di luar penyidikan, terutama saat kasus sudah inkrah, dianggap tidak masuk akal.

Ia berpendapat, jika memang terjadi perintangan yang signifikan, maka proses hukum tidak mungkin berjalan hingga putusan berkekuatan hukum tetap. Artinya, penyidikan seharusnya terhambat atau gagal sama sekali.

Pasal 21 UU Tipikor mengatur tentang pencegahan, perintangan, atau penggagalan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Penerapan pasal ini, menurut Mahrus, harus sesuai konteksnya.

Masih dalam Tahap Pro Justitia?

Mahrus menekankan pentingnya memahami batasan yang tegas dalam UU Tipikor. Pasal 21, menurutnya, hanya berlaku pada tahap penyidikan, bukan penyelidikan.

Penyelidikan, menurut ahli, belum masuk tahap “pro justitia”. Artinya, aparat penegak hukum masih mengumpulkan bukti untuk menentukan ada atau tidaknya dugaan tindak pidana.

Pada tahap penyelidikan, belum ada alat bukti yang cukup untuk menentukan adanya pelanggaran hukum. Oleh karena itu, mengatakan ada perintangan pada tahap ini, menurut Mahrus, tidak tepat.

Analisis Kasus Frederich Yunadi dan Implikasinya

Kasus Frederich Yunadi, yang digunakan sebagai contoh oleh kuasa hukum Hasto, perlu dianalisis lebih detail. Putusan MA Nomor 3315 Pidsus 2018 menyatakan Yunadi terbukti menghalangi penyidikan kasus korupsi Setya Novanto.

Namun, konteksnya perlu dibedah lebih lanjut. Apakah tindakan Yunadi terjadi saat penyidikan masih berlangsung atau sudah selesai? Detail ini krusial dalam menentukan relevansi penggunaan Pasal 21 UU Tipikor.

Penggunaan analogi kasus Yunadi perlu kehati-hatian. Setiap kasus memiliki konteks dan fakta yang berbeda, sehingga tidak bisa disamakan begitu saja.

Kesimpulannya, kesaksian ahli Mahrus Ali dalam sidang kasus Hasto Kristiyanto menunjukkan kerumitan penerapan Pasal 21 UU Tipikor. Pemahaman yang tepat mengenai tahap penyidikan dan penyelidikan, serta konteks kasus, sangat penting untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum. Perbedaan antara penyelidikan dan penyidikan harus dipertimbangkan secara cermat dalam setiap kasus, agar tidak terjadi penafsiran yang keliru dan merugikan pihak-pihak yang terlibat.

Pos terkait