Anggota DPR RI, Nurdin Halid, melontarkan kritik tajam terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 135/PUU-XXII/2024. Ia menilai MK telah melampaui kewenangannya dengan mengatur teknis penyelenggaraan pemilu, seharusnya menjadi ranah legislatif.
Politisi Partai Golkar ini mendesak Sidang MPR untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Tujuannya untuk memperjelas batasan kewenangan lembaga-lembaga tinggi negara, termasuk MK.
Kritikan Terhadap Putusan MK dan Kewenangannya
Nurdin Halid, Wakil Ketua Komisi VI DPR, menyatakan bahwa MK telah terlalu jauh masuk ke ranah legislatif. Lembaga yudikatif seharusnya hanya menegakkan hukum, bukan membuat aturan teknis pemilu.
Ia menekankan bahwa kewenangan MK menurut UUD 1945 adalah menguji undang-undang, memutus sengketa antar lembaga negara, membubarkan partai politik, dan menyelesaikan perselisihan hasil pemilu.
Putusan MK tentang pelaksanaan pemilu DPRD dinilai bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) juncto ayat (2) UUD 1945. Pasal tersebut mengatur pemilu dilaksanakan lima tahun sekali, termasuk pemilihan anggota DPRD.
Dampak Putusan MK terhadap Sistem Demokrasi
Nurdin Halid menjelaskan bahwa putusan MK ini bukan hanya cacat secara konstitusional, tetapi juga menimbulkan ketidakpastian. Hal ini berdampak pada demokrasi, tata negara, dan perencanaan pembangunan.
Ia menilai MK telah mengubah konstruksi UUD 1945 dengan mengabaikan substansi Pasal 18 dan Pasal 22E. Pasal-pasal tersebut mengatur pemilihan kepala daerah dan anggota lembaga negara lainnya secara demokratis.
Dengan menjadikan rezim pilkada sebagai rezim pemilu, MK memperluas kewenangannya dalam menyelesaikan sengketa pilkada. Padahal kewenangan ini seharusnya bersumber dari UU, bukan UUD 1945.
Konsekuensi lainnya adalah ketidakjelasan aturan terkait masa jabatan kepala daerah dan masa kekosongan DPRD. Hal ini menimbulkan kompleksitas konstitusional yang pelik.
Desakan Amandemen UUD 1945 dan Peran MPR
Meskipun menghormati putusan MK yang final dan mengikat, Nurdin Halid menegaskan bahwa MK tidak memiliki wewenang untuk merumuskan koreksi atas pasal UU yang dibatalkan.
Tugas tersebut seharusnya kembali ke DPR sebagai pembuat undang-undang. Jika ada gugatan baru terhadap UU perbaikan, baru dapat diajukan kembali ke MK.
Nurdin khawatir putusan MK yang bersifat final dan mengikat bisa dibatalkan oleh hakim MK periode berikutnya. Hal ini membuat MK tampak seperti lembaga yudikatif sekaligus legislatif, menimbulkan kebingungan.
Ia melihat adanya konflik kewenangan antar lembaga tinggi negara pasca amandemen UUD 1945. Amandemen tersebut bertujuan membatasi kekuasaan eksekutif dan memperkuat legislatif, tetapi justru menguatkan yudikatif (MK).
Oleh karena itu, Nurdin Halid mendorong MPR menggelar sidang istimewa. Tujuannya mengembalikan UUD 1945 yang asli dan utuh, serta menengahi konflik kewenangan antar lembaga.
Ia menilai empat kali amandemen UUD 1945 telah menggeser roh demokrasi Pancasila berbasis musyawarah mufakat ke demokrasi liberal.
Nurdin berharap MPR kembali menjadi wasit dalam ketatanegaraan Indonesia. MPR juga perlu membuat Tap MPR untuk menafsirkan secara resmi pasal-pasal UUD 1945. Hal ini penting karena bagian penjelasan dalam UUD 1945 yang asli telah dihapus.
Kesimpulannya, polemik putusan MK ini menyoroti pentingnya kejelasan pembagian kewenangan antar lembaga negara. Amandemen UUD 1945 dan peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara menjadi sorotan utama dalam menyelesaikan masalah ini. Kejelasan aturan dan penegasan prinsip-prinsip demokrasi Pancasila menjadi krusial untuk menjaga stabilitas dan kepastian hukum di Indonesia.





