Mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, mengungkapkan rasa heran dan kecewanya terhadap tuntutan 7 tahun penjara yang dilayangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam kasus impor gula. Tuntutan tersebut dibacakan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat, 4 Juli 2025.
Tom Lembong menegaskan bahwa tuntutan tersebut sama sekali tidak mempertimbangkan fakta-fakta persidangan yang telah berlangsung selama kurang lebih empat bulan dan melibatkan 20 kali persidangan. Ia bahkan mempertanyakan metode kerja Kejaksaan Agung terkait hal ini.
Tom Lembong Heran Tuntutan Jaksa Abaikan Fakta Persidangan
Dalam keterangannya, Tom Lembong menyatakan telah mendengarkan dan mencatat secara detail seluruh isi tuntutan JPU. Ia mengaku kesulitan menemukan keselarasan antara dakwaan dan tuntutan dengan fakta-fakta yang telah terungkap selama persidangan.
Ia mempertanyakan apakah tuntutan tersebut merupakan pola kerja umum Kejaksaan Agung. Keheranannya semakin bertambah karena sikap kooperatifnya selama proses hukum, baik sebagai saksi maupun terdakwa, juga diabaikan dalam tuntutan.
Tom Lembong menyatakan kesiapannya menghadapi tuntutan tersebut. Ia berharap masyarakat dapat menilai secara objektif atas proses persidangan yang telah dilaluinya.
Tuntutan 7 Tahun Penjara dan Denda Rp750 Juta
JPU menuntut Tom Lembong dengan pidana penjara selama 7 tahun, dikurangi masa tahanan sementara. Selain itu, ia juga dituntut untuk membayar denda sebesar Rp750 juta, atau diganti dengan pidana kurungan 6 bulan jika denda tersebut tidak dibayar.
JPU menyatakan Tom Lembong terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama. Putusan hakim atas tuntutan ini tentunya dinantikan oleh semua pihak.
Dakwaan Terhadap Tom Lembong dan Kerugian Negara
Tom Lembong didakwa telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp578,1 miliar. Dakwaan tersebut berfokus pada penerbitan surat persetujuan impor gula kristal mentah pada periode 2015-2016.
Surat persetujuan tersebut diberikan kepada 10 perusahaan tanpa melalui rapat koordinasi antar kementerian dan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Hal ini dianggap melanggar aturan dan merugikan keuangan negara.
Selain itu, Tom Lembong juga didakwa karena telah menunjuk beberapa koperasi, bukan BUMN, untuk mengendalikan ketersediaan dan stabilisasi harga gula. Padahal, perusahaan tersebut tidak memiliki kualifikasi yang memadai untuk tugas tersebut.
Diduga, perusahaan yang mendapat persetujuan impor gula tersebut tidak berhak mengolah gula mentah menjadi gula putih karena mereka adalah perusahaan gula rafinasi. Proses pengambilan keputusan tersebut menjadi inti dari dakwaan yang dilayangkan terhadap Tom Lembong.
Kasus ini menyoroti pentingnya tata kelola yang baik dalam pengambilan keputusan terkait impor dan stabilisasi harga komoditas penting seperti gula. Sikap kooperatif Tom Lembong selama proses hukum menjadi poin penting yang patut dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan selanjutnya. Publik menantikan putusan hakim dan berharap keadilan dapat ditegakkan dalam kasus ini.





