Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R. Haidar Alwi, baru-baru ini memberikan pandangannya mengenai masa depan ekonomi Indonesia menjelang peringatan 80 tahun kemerdekaan. Menurutnya, perayaan kemerdekaan bukan hanya sekadar seremonial, melainkan momentum untuk merefleksi dan menetapkan arah pembangunan ekonomi yang lebih berdikari.
Haidar Alwi menganalisis pergeseran lanskap ekonomi global yang ditandai dengan persaingan sengit antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Ia melihat pertarungan ini bukan hanya soal ekonomi, melainkan juga perebutan pengaruh dua sistem besar yang berbeda. Indonesia, menurutnya, harus mengambil peran aktif, bukan hanya menjadi penonton pasif.
Pergeseran Hegemoni Global dan Strategi Amerika Serikat
Selama lebih dari lima dekade, Amerika Serikat mendominasi dunia, menguasai dolar, energi, dan perdagangan global. Namun, sejak 2017, Tiongkok mulai menyaingi dominasi tersebut.
Pasca-pandemi COVID-19, Tiongkok semakin kuat di berbagai sektor, termasuk teknologi, kesehatan, militer, dan sistem pembayaran global melalui konsolidasi BRICS. Ini membentuk dinamika baru dalam persaingan ekonomi global.
Amerika Serikat, menurut Haidar Alwi, melakukan strategi pelemahan dolar untuk menghidupkan kembali industrinya yang tertinggal. Hal ini membuka peluang bagi negara-negara seperti Indonesia untuk membangun fondasi ekonomi baru yang lebih kuat.
Strategi Amerika sebelumnya melalui ketegangan geopolitik, seperti serangan terhadap Iran di masa pemerintahan Trump, justru berdampak sebaliknya. Dunia internasional menolak perang, membuat strategi ekonomi berbasis daya saing harga menjadi pilihan yang lebih efektif.
Lima Gagasan Strategis untuk Memperkuat Ekonomi Indonesia
Haidar Alwi mengajukan lima langkah strategis bagi Indonesia untuk memperkuat ekonomi nasional.
- Dana Pembangunan Berbasis Komoditas Strategis: Membangun cadangan nasional dari emas dan nikel untuk membiayai infrastruktur dan ketahanan energi. Komoditas bukan hanya sumber devisa, tetapi juga alat kedaulatan ekonomi.
- Pasar Inovasi Nasional Berbasis Karya Anak Bangsa: Membangun sistem pembiayaan inovasi dari valuasi kekayaan intelektual, sehingga penemu dan kreator bisa mendapatkan dana tanpa bergantung pada utang.
- Koperasi Digital untuk Kepemilikan Tambang dan Hilir Industri: Melibatkan rakyat melalui platform digital koperasi nasional dalam kepemilikan industri. Rakyat bukan hanya konsumen, tetapi juga pemilik aset negara.
- Rupiah Digital Lokal untuk Transaksi Domestik: Mengembangkan sistem pembayaran digital lokal berbasis rupiah untuk UMKM, desa, dan pasar tradisional agar tidak bergantung pada sistem global.
- Pembaruan Kurikulum Ekonomi di Sekolah Menengah: Memberikan pemahaman ekonomi strategis kepada anak muda sejak dini, termasuk geopolitik, industri, dan kebijakan fiskal.
Menurutnya, Indonesia harus berhenti menjadi hanya kasir bagi kekuatan asing dan mulai merancang masa depan ekonominya sendiri.
Nasionalisme Ekonomi sebagai Tindakan Nyata
Haidar Alwi menekankan bahwa nasionalisme ekonomi bukan hanya slogan, tetapi tindakan nyata. Ini tercermin dalam pendanaan riset dalam negeri, pembelian produk lokal, dan pembangunan sistem ekonomi yang berkeadilan.
Indonesia, menurutnya, memiliki potensi besar berupa PDB yang mendekati Rp24.000 triliun, populasi usia produktif yang besar, cadangan nikel terbesar dunia, dan posisi strategis di jalur perdagangan internasional.
Namun, semua potensi ini membutuhkan pengelolaan yang berdaulat. Indonesia harus berani mengolah kekayaan alamnya sendiri dan membangun industri dalam negeri dengan penuh kepercayaan diri.
Usia 80 tahun kemerdekaan bukan akhir, tetapi titik balik bagi Indonesia. Dengan keberanian dan kerja sama, Indonesia bisa menjadi poros ekonomi baru di dunia, bukan karena belas kasihan, tetapi karena kekuatan dan kebijakan yang berpihak pada bangsa sendiri.





